August 20, 2015

Musikal

             Harusnya dia tidak boleh bermimpi.
            Dia tau, di umur segini bukan masanya lagi untuk berlarut-larut membahas mimpi yang itu, berulang-ulang dalam kepalanya. Akan tetapi, sang mimpi tetap membandel, bertahan disitu, menghangatkan hatinya yang beku, sekaligus menusuk perasaannya terdalam. Bercokol disana, bagai dosa paling manis yang tak terhindarkan.
            Mungkin kau bingung, ini cerita macam apa. Tenang, kalau tak ingin melanjutkan, kau bisa berhenti disini. Lewatkan saja omongan sampah memusingkan ini.
            Jadi, dia, maksudku tokoh utama dalam cerita ini, adalah seorang wanita dewasa yang sudah sangat matang. Punya pekerjaan tetap, karir cemerlang, amat mandiri, dan jadi andalan hampir dalam segala hal. Membosankan, kataku. Tapi, yang mungkin tak semua orang tau, ada bagian dalam dirinya yang menyenangkan. Bagian kecilnya, yang suka membaca beraneka dongeng, tertawa-tawa menonton film animasi, menangis menonton film romantis, dan kadang suka mewarnai di ilustrasi ajaib yang dibuat seniman kreatif di luar sana.
            Dia kesepian di dunia nyata, tapi menghangat di dunia maya. Internet tentu saja. Jelas, mungkin bagian dirinya yang seperti anak-anak itu yang membuatnya bertahan hidup, lebih tepatnya merasakan kehidupan, dan banyak orang dewasa lain seperti dirinya yang memilih membentuk komunitas sosial untuk menyatukan kembali keping-keping kebahagiaan itu. Maka dia cukup bersyukur, di dunia yang itu, dia tidaklah sesendirian yang dikira.
            Jadi apa inti ceritanya..?
            Sudah kukatakan, kau boleh berhenti kalau bosan. Aku tidak memaksamu kok. Tapi, aku kasih spoiler sedikit ya, ini cerita romansa, tapi belum ada akhirnya, jadi kita nggak bakal tau ini happy ending atau tidak. Jadi ya, sudahlah, kalau kau bebal dan persisten, silakan melanjutkan. Jangan salahkan aku ya, kalau curhatan ini merusak dan mengganggu istirahatmu.
            Dia sampai detik ini masih belum bisa beranjak dari ikatan tidak jelas yang diciptakannya sendiri pada seorang pria nun jauh disana. Pria yang katanya (dia membohongi diri sendiri, jelas sekali), dia anggap sebagai saudara sendiri. Kebohongan besar, hatinya tau itu. Tetapi berbagai alasan menyebabkan dia tidak bisa memajukan diri untuk keluar dari zona kakak-adik menyakitkan itu. Dia takut, takut ditinggalkan kalau berani mencoba lebih dari ini.
            Jadi dia bertahan, bertahun-tahun sudah. Mendengarkan setiap keluhan, dan saling membantu dengan cara yang manis sekaligus membuat kau ingin melempar sepatu usang ke kepalanya. Nah, belakangan, si pria yang didiagnosis menderita depresi ini, mengalami kemunduran status mental yang signifikan. Maksudnya, dalam bahasa yang lebih umum, dia jadi semakin mengisolasi diri, kurang makan, tidur dengan jam-jam yang tidak benar (mengalahkan variasi nokturnal burung hantu dan sejenisnya), serta tidak bisa diajak bercerita banyak. Tokoh utama kita sabar, tentu saja. Menanggapi dan mendengarkan setiap keluhan. Meskipun, yah, pahit terasa sampai ke sumsum tulang.
            Wanita ini bosan dan sedih. Dia kangen masa-masa waras si pria. Dimana mereka bisa ngobrol banyak soal semua hal, dari yang ringan sampai molekuler. Pria ini jenius, sarkastis, sama seperti dirinya, ingin kembali ke masa anak-anak, tak pernah jadi dewasa, dan sangat blak-blakan (catat : bila serangan depresinya tidak muncul). Kerinduan ini terbawa ke dalam mimpi. Dua mimpi berbeda, dengan tokoh yang sama.
            Dia ingat, tangannya menghangat pagi itu, saat dia terbangun dengan sedih sekaligus senang (labil banget, perempuan). Dia berusaha mengingat-ingat keseluruhan mimpi itu, mengulangnya dengan menyedihkan dalam kepala. Bagaimana si pria meneleponnya, mengajak bertemu, entah di semesta yang mana (kan dalam mimpi, suka nggak jelas dimana). Daerah pedesaan, dengan sungai besar berair jernih. Serombongan orang hiruk pikuk berkumpul di pinggir sungai. Deretan kapal-kapal kecil parkir di sepanjang dermaga. Menunggu naiknya penumpang.
            Si pria tersenyum menyambutnya, lantas tanpa bicara menarik tangannya menuju dermaga. Genggaman kuat yang hangat, menyeluruh sampai ke tiap senti serabut sarafnya. Pria itu mengajaknya bercerita di dermaga, bilang padanya bahwa dia akan pergi jauh, belum tau kapan akan kembali.
            Dia menatap si pria sekuatnya, tidak menangis, diam saja, menenangkan diri sendiri.
            “ Abang pergi ya. Ga tau berapa lama. Mungkin balik. Mungkin nggak. Tapi, abang bakal kasih kabar,” kata pria itu.
            Dia hanya mengangguk. Tak tau harus berkata apa. Menunduk saja melihat tangan kecilnya yang masih digenggam si pria.
            Lalu mereka berjalan menikmati semilir angin. Berbicara entah apa. Yang menarik dalam mimpi ini, dia memegang salah satu novel fantasinya. Novel bersampul biru tua dengan ilustrasi artistik. Pengingat keterkaitannya dengan dunia nyata mungkin. Dia tidak tau, sepanjang mimpi berlangsung, gemericik air sungai, kebisingan orang-orang di sekitar, dan rasa hangat di tangannya, membuat situasi sudah terasa asli, nyaman dan tidak asing. Tetapi, seperti mimpi pada umumnya, dia lalu terbangun. Mimpi berakhir. Melihat nanar ke telapak tangannya yang rasanya masih hangat. Kosong, tak ada apapun disitu.
            Bosan ? Absurd ? Kan sudah kubilang, ini roman dari isi kepala wanita. Aku pun juga nggak ngerti kenapa menulis cerita ini.
            Lanjut ke mimpi kedua. Kali ini jauh lebih riang gembira. Tokoh utama kita terbangun dengan senang bercampur tak rela. Sebuah lagu terngiang-ngiang di kepalanya. Lagu yang jadi official soundtrack mimpinya semalam.
            “..Raindrops keep fallin’ on my head..but that doesn’t mean my eyes will soon be turnin’ red...Cryin’s not for me..’cause I’m never gonna stop the rain by complainin’..Because I’m free..nothin’s worrying me..”
            Lagu lama. B.J.Thomas, Raindrops Keep Fallin’ On My Head. Dia suka hujan, selalu suka. Bau rerumputan basah, bunyi gemericik air yang menghantam tanah. Menenangkan dan menyejukkan. Entah kebetulan atau apa, mimpi yang kedua ini, ada hujannya. Konspirasi manis dari sistem limbik otaknya dan kuasa sang Maha Kreatif.
            Karnaval, pasar, festival, semacam itulah. Di suatu kota, berlangsung amat meriah. Banyak pedagang membuka stand kecil. Balon warna-warni berterbangan. Dan lagu favoritnya itu berkumandang di udara (atau di kepalanya ? entahlah). Atraksi badut, sulap, semuanya ada. Hari itu senja, dan titik-titik gerimis turun dari langit, sempurna.
            Dan pria itu ada, berdiri di sebelahnya, tertawa menyanyikan lagu yang sama. Tanpa basa-basi, si pria menarik tangannya berlari-lari melihat ke sekeliling lokasi festival. Menakjubkan, semua stand-stand yang ada menyodorkan memori manis untuknya. Stand permainan-permainan unik yang hanya ada di masa lalu. Masa ketika berlari di bawah hujan, tertawa main petak umpet, dan kehebohan kembang api masih terasa nyata. Belum lagi penjaja jajanan di sepanjang festival. Es loli kacang merah, gulali merah jambu, lollipop aneka warna, semua dengan rasa yang sama seperti yang dia ingat di masa kecilnya dulu.
            Seolah dalam drama musikal, tidak ada yang terlewatkan. Lengkap. Pria itu tidak mengeluh, tidak gloomy seperti biasa, tak ada serangan depresi. Dan ajaibnya, semua lagu-lagu favoritnya berkumandang. Bergaung di keseluruhan festival, dan dinyanyikan oleh mereka berdua.
            Bagian yang tidak enak adalah, mimpinya habis. Tanpa pertanda apapun. Tetapi, detail-detailnya sekuat tenaga dia pertahankan. Lengkap dengan playlist lagu yang terlibat. Sayang sekali dia tak pandai menggambar. Kalau tidak, mungkin sudah menggapai kertas terdekat dan mulai mencorat-coret.
            Kebiasaan bodohnya ketika bangun adalah mengecek pesan masuk di smartphone. Tidak ada, tidak ada apapun dari si pria. Pasrah dan lelah, memang mimpinya ternyata hanya mimpi. Dia tidak tau, sampai kapan akan bertahan. Bertahan dalam dunia aneh yang dia ciptakan sendiri.
            Tapi hidup terus jalan, dia bangkit dari tempat tidur. Mengecek koleksi buku-buku favorit dan memilih satu dari timbunan. Untuk melarikan diri, tentu saja, ke dunia satu lagi yang tidak akan pernah menyakitinya. Dan nanti, seolah sudah biasa, si pria akan muncul lagi. Sekedar sapaan singkat, atau keluhan. Melelahkan, jelas. Bertahan, mungkin. Muak, iya. Tak tega, tentu saja.
            Dan dia memasang headsetnya, mendengarkan kembali lagu-lagu yang berkaitan. Mengetes seberapa kuat hatinya berusaha. Saat berikutnya, dia kembali ke rutinitas yang biasa. Prinsipnya sama, tak ada gunanya mengeluh. Dunia takkan mengerti, apalagi memberikan jawaban. Dia sendiri tidak paham, sudahlah, pasrah pada Maha Sempurna, sepertinya adalah satu-satunya cara.
            Nah, apa kubilang. Ini membosankan, kan ? Kalau kau bersabar, mungkin akan ada lanjutannya. Mungkin loh ya, jangan banyak berharap. Harapan mungkin menguatkan, tapi akan amat pedih bila tak berbalas.
           

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...