March 20, 2021

Kehilangan Si Gondrong

 



Saya sejatinya adalah manusia multiwajah. Di dunia nyata, saya terkesan cuek dan tidak peduli-peduli amat. Meskipun saya terbiasa menampilkan muka tersenyum lebar dan seolah open book. Saya membangun dinding tebal kokoh untuk hampir semua hubungan, entah persaudaraan, persahabatan, apalagi untuk romansa. Ketika ada sedikit orang yang berhasil menjebol dindingnya, orang itu akan bertahan lama di sana. Tidak tergantikan. Dan peliknya lagi, ketika orangnya menghilang, saya terlambat menyadari bahwa ada bagian diri saya yang hilang juga. Mengakuinya itu menyakitkan, meskipun melegakan, tapi mengambil banyak energi, memakan waktu, dan mencederai mental. Berlebihan? Entah ya. Saya baru berani membuat tulisan ini setelah setahun saya kehilangan. Mungkin jalan penyembuhan saya selalu lambat.

Persahabatan saya dengan si gondrong sudah berlangsung nyaris sewindu. Semacam manusia aneh yang dipertemukan dengan manusia aneh lainnya. Saya masih ingat obrolan-obrolan tengah malam via telepon, ketikan whatsapp, segala sesi kopi darat makan-makan di Padang-Bandung-Jakarta, dan segala upaya kami untuk tetap berkomunikasi. Ketika saya masih perlu mencerna fakta kedatangan pandemi yang mengubah wajah dunia, saya dihantam fakta lain bahwa dia pergi selamanya. Selamanya. Yang saya rasakan saat mendengar kabar itu adalah rasa bersalah. Rasa bersalah karena saya terkesan mengabaikan dia untuk menjalani drama kehidupan saya sendiri.

Percakapan telepon terakhir saya dan dia adalah ketika saya sedang di Bogor dan dia di kampung halaman. Adik saya - partner bickering nya dia, wisuda saat itu. Ketika prosesi wisuda di gedung kampus yang mengharuskan saya mojok di luar, saya ingat bahwa saya harus mengabari dia. Si gondrong saat itu sedikit sesak, meskipun suaranya masih enak didengar seperti penyiar radio ibukota. Dia masih bisa bikin saya ketawa. 

Ketika si gondrong sakit, dia tidak mengabari saya langsung. Dia dirawat cukup lama di kota kembang sebelum dibawa pulang oleh keluarganya. Keluar rawatan, dia baru mengabari saya. Saya ngamuk. Dia ketawa, dia bilang dia nggak mau merepotkan saya. Dia yakin saya akan ngomelin dia, panik, dan justru malah membuat keributan yang tidak perlu. Ah, dia paham sekali saya seperti apa. 

Lucunya, dia nggak mau bilang spesifik dia sakit apa. Tapi saya punya koneksi. Ketika saya tau penyakitnya, saya menghela napas berat. Saya yang tidak siap dengan diagnosis ini. Saya yang tidak mampu. Lalu, seperti pengecut pada umumnya, saya menghindari dia. Berlari ke drama kehidupan saya yang berputar di hal yang sama, di orang yang sama. Dia, tentu saja mengerti. Saya jujur bilang padanya saya tidak sanggup menghadapi keluhan-keluhan hariannya. Kejam ya.

Saat menulis ini, saya membuka pesan terakhir dari si gondrong di kolom pesan Instagram. Saat itu saya sedang bersama sahabat-sahabat saya di ibukota, menunggu pergantian tahun dengan nongkrong di kafe sambil menantikan hujan reda. 

"Happy new year, nek.  Moga tahun depan ngasih surprise yang bikin senyum dan ketawa."

2020 tentu penuh kejutan. Sayangnya tidak disertai senyum dan ketawa. Babak belur sejadi-jadinya. Saya kehilangan si gondrong. Tidak ada lagi pesan-pesan random membahas buku, film, series, politik, kehidupan, gosip artis, curhat ini itu. Tidak ada. Tidak ada lagi si gondrong yang selalu saya omelin dan selalu membalas omelan saya dengan tawa. Si gondrong sudah tidak ada.

Saya ingat kita pernah membicarakan kematian dalam beraneka omongan. Entah terkait bunuh diri artis, penyakit-penyakit, atau mengapa hidup tampaknya semakin hampa. Dia juga pernah bilang ingin menjemput si maut, karena putus asa terkait mimpi-mimpi yang belum terwujud. Kalau sudah begitu, saya akan mengomel lagi. Saya selalu bilang, kematian tidak menyelesaikan masalah. Ketika kematian akhirnya menghampiri salah satu di antara kita, saya tidak kuat. Masa menangis mungkin cuma dua minggu setelah berita, tetapi kehilangannya masih menetap. Ketika saya menonton sebuah film animasi terkait kematian beberapa hari yang lalu, pikiran saya mengelana padanya. Saya yakin, si gondrong akan menyukai film ini. Kita akan berdiskusi berjam-jam sambil menyerempet topik lain, lantas memutuskan untuk mencari referensi film terkait atau menghubungkan si film dengan kehidupan kita masing-masing. Seribut itu, serepot itu.

Kehilangan si gondrong tak disangka merenggut porsi yang besar dari saya. Setelah setahun dia berpulang, saya masih suka ngecek foto lama bersamanya, tulisan di blog-nya, chat panjang pendek di media sosial, dan apapun yang bisa mengobati kehilangan saya akan dia. Dia pernah hadir sekali dalam mimpi saya, cuma tersenyum saja, lalu tidak jelas, dan saya terbangun dengan berurai air mata.

Mungkin saya butuh semacam grieving counselor untuk membantu saya melewati masa berkabung yang panjang ini. Namun, saya tau sekali, masa berkabung saya bukan hanya karena kehilangan si gondrong, tetapi akumulasi dari banyak kehilangan yang dengan sombong saya anggap tak menyakiti diri. Pada akhirnya, saya dalam keadaan terseok-seok berupaya memaafkan diri dan menyeret langkah untuk entah apa yang akan saya hadapi ke depan.

Saya membayangkan, entah apa yang dipikirkan si gondrong saat ini. Diskusi apa yang tengah dia jalani di alam sana. Mungkin pertanyaan-pertanyaan absurdnya dulu sudah terjawab. Mungkin dia menertawakan saya di sini karena entah apa yang saya tulis ini. Mungkin dia sudah tau bahwa saya akan segitu kangen kepadanya. Petualangan dia di semesta ini sudah usai, sementara saya masih harus melanjutkan petualangan saya sendiri.

Kehilangan si gondrong adalah salah satu titik pedih yang tak terelakkan dalam episode dekade tiga kehidupan saya. Dengan tidak membesar-besarkan, saya berharap dia bahagia di sana. Pastinya dia diperlakukan dengan lebih baik daripada apa yang dijalaninya di kefanaan ini.

Al-Fatihah, sudah setahun ya mas. Saya tau kamu pasti baik-baik saja di sana. Maafkan saya.


(Rayes Mahendra, 24 Desember 1988 - 20 Maret 2020)

 




2 comments:

  1. Semangat amak. :) Hidup cuma persinggahan, ketemu sana sini, jika jodoh pasti ketemu (lagi), jika tidak takdir akan menjawab seiring doa dan usaha. Kita berhusnuzhon sambil sabar dan syukur menjalani skenario Yang punya kehidupan ini ye kan?

    ReplyDelete

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...