Let's just be stranger
Kalimat itu kutanamkan berulang-ulang dalam kepala selama beberapa bulan terakhir. Semacam upaya moving on atau menyiksa mental yang entah merapung macam kayu hanyut dibawa arus sungai. Pasrah. Karena kupaksakan pun tak mungkin. Keyakinanku sudah menguap.
Apa rasanya menganggap asing seseorang yang kau pikir akan menjadi bagian terbesar hidupmu di kemudian hari? Menampik semua kenangan dan mengunci erat-erat ruang kosong berukuran besar dalam hatimu dengan susah payah?
Aku tidak ingin mendramatisir, karena tanpa dilebih-lebihkan pun nyatanya sudah drama. Drama yang kurasa akulah tokoh utamanya, tapi aku hanya mencederai diriku sendiri seperti yang sudah-sudah. Dan aku kembali lagi ke titik ini. Kembali kepada upaya panjang untuk memaafkan diri sendiri.
Pertemuanku dengannya bukan terjadi dalam setting manja romansa pada umumnya. Biasa. Tidak ada highlight berarti. Aku sudah sangat residivis dalam urusan friend zone, berharap sendirian, dan bertepuk sebelah tangan. Apakah aku belajar? Oh tentu. Apakah menghentikanku untuk tidak mengulanginya? Tentu tidak. Kau terkadang tidak bisa memaksa akal sehatmu mengatur sepotong perasaan yang makin lama makin kuat dan mengakar.
Sekitar enam tahun lalu, kecintaanku pada buku mempertemukanku dengan banyak orang di luar lingkaran utamaku. Koneksi jaman revolusi industri menuju 4.0 saat itu tentunya memudahkan berinteraksi dengan siapa saja, apapun latar belakangnya. Kesamaan hobi menjadi jalan terbentuknya beraneka komunitas di luar sana, tidak terkecuali yang terkait hobiku. Aku menikmatinya, berbagi dengan orang-orang berdarah perbukuan yang mengerti rasanya mencintai berbagai semesta dalam tuturan penulis yang asing namun terasa memahami kebutuhan jiwa dalam untaian aksara.
Dan dengan dia aku bersua. Awalnya ya hanya terkait hobi, kemudian menjurus kepada konsultasi, mengingat profesi dunia nyataku yang enak untuk ditanya-tanya. Lalu melancong ke urusan pribadi. Percakapan makin intens, senyum makin beda. Namun saat itu aku masih menyimpan rasa untuk yang lain, dalam diam tentu saja. Lebih aman mungkin, meskipun nyerinya tak tertahankan. Ketika akhirnya kupunya keberanian untuk menyelesaikannya, patah, dia lantas muncul, dan akhirnya bertemu di dunia nyata.
Pertemuan pertama kenyataannya bukan seperti film India. Tidak ada percikan ini itu, tapi bagian kecil dari diriku sudah bersiap menyediakan ruang untuk orang ini. Mau tidak mau, ruangnya mewujud. Aku yang sudah mulai ditodong sana-sini terkait pasangan hidup, tentu saja tidak menutup diri. Dan hadirlah ruangan dalam hati untuknya.
"Mba sama dengan yang di-chat. Nggak ada bedanya. Aku jadi overwhelmed."
Aku masih ingat impresinya padaku ketika pertama kali bersua. Aku mungkin ekstrover tulen. Sama ributnya antara kelakuan di panggung kehidupan dengan apa yang menguar di layar smartphone. Yah itulah aku. Aku tak pandai punya wajah berbeda untuk setiap aplikasi. Dan kuanggap itu sebagai pujian.
Waktu berjalan, komunikasi intens sampai menjurus ke masa lalu, laporan situasi harian, saling perhatian, angan-angan. Standarlah. Kekasih? Bukan. Tidak pernah sampai ke definisi itu. Namun, ruangnya makin membesar. Prioritasnya naik ke level utama.
Aku mungkin adalah bagian dari rombongan individu agresif yang hobi berterus terang. Tapi aku takut. Takut kalau terus terang kemudian dia jadi jauh karena tidak bisa membalas sesuai ekspektasi. Maka kuubah energiku ke dalam bentuk perhatian nyaris menyebalkan untuknya. Dia senang-senang saja tampaknya. Mungkin merasa terganggu, tapi bisa jadi dia kasihan dan tidak ingin mematahkan usahaku.
Aku berkali-kali memaki diriku sendiri atas apa yang rela kulakukan untuknya. Aku tau aku memaksakan diri. Ketika dia datang ke kotaku, aku senang bukan main. Saat itu kumerasa keraguanku dipatahkan. Namun, setelah menghabiskan hari-hari bersama, aku diremukkan oleh ucapan maaf.
"Mba, aku minta maaf ya."
Logikaku yang terlatih tau betul maksud kata-kata itu apa. Jelas dia tidak ingin aku. Tapi, ruang yang besar itu menguarkan kekuatan entah apa. Meskipun aku ingat air mataku yang tumpah sepanjang episode ngebutku di jalanan yang kesekian, aku tetap bertahan. Mungkin saat ini dia tidak ingin, tapi dia pasti butuh.
Entah aku yang manipulatif atau menyedihkan, tapi ku tau, perasaan bahagia itu memabukkan. Aku tidak pergi, dia juga tidak. Kami tidak mendefinisikan ini apa. Kami berjalan beriringan dibatasi jarak dunia nyata, tapi tidak pernah benar-benar melepaskan satu sama lain. Dia berbagi beraneka pedih dan kisahnya, aku berbagi apa yang aku punya. Kupikir ya sudahlah. Aku tidak perlu definisi. Itu kataku saat itu.
Lalu, kebenaran menghantamku dengan jelas. Dia punya hasrat lain pada individu lain. Aku hanya tertawa ketika tau. Lantas, ku berada dalam mode penyangkalan. Kemudian arogansiku mengemuka, aku berada dalam mode sok pahlawan. Aku menyuntik diriku sendiri dengan semangat ingin membawanya kembali ke seharusnya, lalu dengan harapan dia akan memilihku pada akhirnya.
"Suatu saat kamu akan tau waktunya untuk berhenti, Nek."
Ucapan mendiang sahabatku saat sesi mendengarkan racauan beraneka emosiku di masa itu kembali terngiang. Memang sejatinya waktu adalah yang paling baik dalam menunjukkan jalan. Namun, seiring jalan, keyakinanku padanya tidak memudar, malah menguat. Kebohongan demi kebohongan kulontarkan kepada siapa saja yang peduli padaku. Berkata bahwa aku 'sudah menyerah', 'tidak berharap', 'sudah pasrah'. Tidak. Aku mungkin tidak pernah tau rasanya jatuh cinta. Entah ini cinta atau apa, yang pasti ruang di dalamku untuknya tetap kokoh.
Hingga suatu ketika aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke kotanya, sedangkan dia harus melanjutkan pendidikan ke benua lain. Kupikir, mungkin inilah akhirnya. Jarak yang terlalu jauh akhirnya akan memisahkan urusan batin yang tidak jelas ini. Tetapi lagi-lagi aku salah. Dia tidak melupakanku, tidak meninggalkanku. Aku juga tidak.
Ketika dia kembali, mengkhususkan waktunya untukku, aku senang bukan kepalang. Aku menyiapkan diri. Di kepalaku, ketika dia memilihku, aku akan menerima segala tentangnya. Lengkap.
"Aku takut ngomong ini sebelumnya ke kamu. Aku takut kamu akan ninggalin aku."
Aku ingat dia nyaris menangis ketika mengungkapkan kegundahannya padaku, hal-hal yang menyiksanya, dan alasan ketidakjelasan hubungan ini dari matanya. Aku bergeming ngotot. Kubilang aku tidak akan meninggalkannya. Tidak.
Namun aku terlalu tinggi menilai diriku sendiri, seperti biasa. Ketidakstabilan situasi menyeret mentalku ke sudut. Aku terlalu sering menangis dalam diam. Terlalu banyak mencari pembenaran. Ketika tekanan mental lain hadir dalam wujud pandemi yang menyiksa semua orang, tekanan kewajiban studi, kehilangan orang-orang yang tidak tertahankan, aku patah arang.
Terakhir kali ku bersua dengannya, dia mengungkapkan keinginannya untuk merajut masa depan. Dengan jelas, dia mempertimbangkan untuk memasukkanku dalam kemungkinan itu, lengkap dengan skenario angan-angan baik buruk. Tapi, entah apa yang membuatku mendorongnya untuk menyelesaikan pergulatan batinnya sendiri, sebelum takdir berniat menyatukan kami pada akhirnya. Jika sang takdir berkenan. Jika memang itu yang dimau sang takdir.
Kupikir, kesombonganku yang tiada akhir ini sudah memberikanku cedera yang terlalu banyak. Keegoisanku untuk selalu mengendalikan situasi dan merasa paling bertanggung jawab terhadap semua hal termasuk urusan perasaan orang lain, nyatanya memukul mentalku. Ketika jarak fisik semakin terentang dan dia akhirnya tidak lagi menyapa, tidak lagi rutin berbagi, dan lambat laun menjadi asing, aku mulai tau diri. Sadar aku tidak sepenting itu. Ketika dia memilih menjadi asing bagiku, dan aku menjadi asing baginya, aku tau, semua kericuhan ini adalah produk harapanku yang ketinggian.
Apakah aku menyesalinya?
Tidak. Aku menghargai setiap waktu bersamanya, setiap genggaman tangan, pelukan, sesi obrolan ini itu. Nyata adanya. Kuyakin dia tidak mengarangnya. Namun mungkin, penerimaanku berbeda. Ketika ku terbiasa mendapatkan apa yang kuinginkan, namun dalam hal ini aku dikecewakan, aku sempat merasa asing. Asing dengan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan.
Kini ruang itu asing dengan kekosongannya. Aku tidak yakin ruangnya akan mengecil dalam waktu singkat. Upayaku untuk memaafkan dan menyembuhkan diri sendiri masih jauh panggang dari api. Mungkin menuliskannya adalah salah satu remah penunjuk jalan yang kuupayakan. Tetapi aku tidak tau kapan ku menemukan pencerahan. Saat ini ku hanya bergantung pada gravitasi kehidupan dan kembali pada timbunan buku yang setia dan tidak menjadi sekadar pelarian.
Ku sudah terlalu banyak mengira-ngira dan mengkhayal dalam kepala. Yang baru kusadari mungkin he never fell for me. I'm the one who fell for him. Mungkin dalam hal ini ku tidak bisa memaksakan jadi sesuatu yang resiprokal. Upayaku dan upayanya nampak punya alasan berbeda. Aku lah yang terlalu dibutakan imajinasi hingga tak bisa mengakuinya dengan lapang dada.
Asing.
Pada akhirnya kita kembali menjadi asing.
No comments:
Post a Comment