March 25, 2021

Institut (The Institute - Stephen King)

“...Sane people don't sacrifice children on the altar of probability. That's not science, it's superstition...” 



Ketika hasrat membaca sedang membaik, upaya membabat timbunan menjadi lebih menyenangkan. Kali ini kembali dalam multisemesta si raja tega, oom Stephen King tersayang. Sekadar klarifikasi, saya rasanya sudah pernah bilang di tulisan yang mana, bahwa curhatan mengenai bukunya si om akan banyak mendominasi blog acakadut ini. Begitulah risiko bucin.

THE INSTITUTE adalah novel stand alone bikinan si om yang rilis di tahun 2019, dan harus saya bilang bahwa novel ini keji dan menyesakkan. Kejinya sebelas dua belas kayak PET SEMATARY (bisa dicek di sini), namun THE INSTITUTE bikin sakit hati dan membuat saya mengurangi bintang 5 nya jadi 4.5 karena cedera mental yang saya alami selama membacanya.

THE INSTITUTE mengisahkan anak-anak yang diculik oleh semacam organisasi untuk kemudian diletakkan di dalam sebuah bangunan di tengah hutan, menjalani serangkaian percobaan entah apa, dan digunakan sebagai senjata untuk melawan musuh entah siapa. Bagi yang sudah menonton serial TV Stranger Things, mungkin ngeh sekali situasi anak-anak ini. Bedanya nggak ada demogorgon atau dunia paralel yang terlibat.

Lucas 'Luke' Ellis, bocah super pintar berusia dua belas tahun, anak tunggal kesayangan yang lulus tes masuk MIT dan Emerson (dua kampus bergengsi di dunia), tercerabut dari impiannya untuk kuliah karena rombongan misterius menculiknya di tengah malam buta dan membunuh kedua orang tuanya. Luke terbangun di kamar asing yang dibuat semirip mungkin dengan kamarnya, bertemu Kalisha dan anak-anak lain di THE INSTITUTE.

Sebagai anak yang cerdasnya keterlaluan, tak butuh waktu lama bagi Luke untuk menyadari apa yang terjadi. Luke berada di suatu fasilitas yang 'mengurung' anak-anak dengan kemampuan telekinesis dan telepati. Anak-anak ini dites macam-macam, kemudian dimanfaatkan sebagai 'senjata mental' untuk melawan pihak-pihak lain. Di bagian ini, saya mulai terganggu. Semua yang dijalani anak-anak ini keterlaluan. Keji, bikin sesak. Saya langsung sakit hati dengan kekejaman orang-orang ini.

Anak-anak datang dan pergi. Kemudian, Avery Dixon, bocah berumur sepuluh tahun dengan kekuatan telepati level tinggi, hadir bersama mereka. Luke dan Avery kemudian menjadi kombinasi letal yang mulai menyusun plot untuk menghancurkan orang-orang ini.

Di suatu tempat, pensiunan polisi paruh baya bernama Tim Jamieson, menetap menjadi opsir sewaan di DuPray, sebuah kota kecil tak penting. Tim yang sendirian ingin memulai hidup tenang setelah drama bentrokan di kota besar tempat dia tinggal sebelumnya. Namun, nantinya, Tim akan terlibat sebagai pihak lain dalam kisah keji ini. Tim akan menjadi satu dari sedikit orang dewasa yang bisa diandalkan dan masih punya nurani.

Ini edisi yang saya punya

Dengan tidak ingin memberikan spoiler berlebihan, saya mewanti-wanti pembaca yang akan mencicipi buku ini. Disturbing. Apa yang dilakukan oleh orang-orang di THE INSTITUTE kepada Luke dan teman-temannya itu sangat tidak manusiawi. Kita juga dibawa pada emosi dan sudut pandang anak-anak ini. Ketakutan, tangisan, kerapuhan mereka. Dan harus saya bilang, ini adalah salah satu novel om King dengan kadar 'tega' yang keterlaluan dibanding yang biasa beliau lakukan.

Aspek yang menghangatkan saya mungkin adalah hubungan persahabatan antara anak-anak yang tercerabut ini dan tentunya hubungan Tim dan Luke. Kalau boleh dibilang, tokoh utama di buku ini ada tiga orang: Luke, Avery, dan Tim. Yang bikin saya terharu, om King mencoba mencontohkan bagaimana seharusnya orang dewasa bersikap pada anak-anak lewat sosok Tim. Di tengah berseliwerannya orang-orang dewasa yang menjijikkan, saya berterima kasih pada kehadiran Tim dan seorang janitor wanita bernama Maureen. Di sinilah kekuatan kisahnya om King yang telah saya ikuti selama bertahun-tahun. Tokoh-tokoh yang dipilihnya bukanlah tokoh yang tak bercela, tapi banyak dari orang biasa, yang membuat pembaca merasa relatable.

Poin menarik lain dan mungkin mengganggu pikiran selain upaya keji orang-orang di THE INSTITUTE ini adalah alasan dibalik berdirinya lembaga penyiksaan yang terorganisir ini. Dalang utamanya punya reasoning yang tidak kalah disturbing-nya. Pengungkapan ini membuat kita berpikir ulang soal sejarah dan tatanan dunia kita saat ini. Sejauh itu? ya sejauh itu. Ada beberapa peristiwa nyata yang disebutkan dalam kisah ini. Diramu dengan baik narasinya dan bikin bergidik.

THE INSTITUTE hadir sebagai novel yang tidak tanggung-tanggung menyiksa pembacanya. Keterkaitannya dengan kisah bikinan om King yang lain mungkin ada, tapi samar. Namun bagi yang sudah menyelesaikan CARRIE, DARK TOWER SAGA, dan FIRESTARTER, mungkin akan merasakan sedikit 'koneksi' dalam situasi di novelnya. Bagaimanapun juga, rancang bangun kisah manapun dalam multisemesta sang raja pasti punya kepingan samar yang senada. Dan beliau tidak lupa menyelipkan budaya populer, sarkasme anti Trump yang biasa, dan keunikan penulis legendaris yang rajin menganiaya pembaca.

Saya tidak memaksa pembaca untuk mencicipi THE INSTITUTE. Kemungkinan tercederai dan tersakitinya agak 'berbeda' dibanding yang sudah-sudah. Geram, kesal, sakit hati tapi tidak mampu berbuat apa-apa. Seperti disodorkan rasa bersalah segede piramida. Namun, tentu ada yang bisa diambil dari kisah ini. Dan sepertinya saya harus bilang: this book is not for the faint hearts.

Pada kenyataannya, manusia memang ciptaan Tuhan yang paling keji, melebihi monster manapun.


 “...this life we think we’re living isn’t real. It’s just a shadow play, and I for one will be glad when the lights go out on it. In the dark, all the shadows disappear...”

- Stephen King -

No comments:

Post a Comment

The Long Conversation With You

  “The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it..." - Lois Lowry Hi Mas, it's been a while...