“...Maybe there is a beast… maybe it's only us...”
Butuh waktu lumayan lama bagi saya untuk menyelesaikan sebuah novel klasik berbahasa Inggris dengan judul LORD OF THE FLIES karya William Golding ini. Menemukan si buku dalam ajang Big Bad Wolf beberapa bulan lalu, sejatinya saya penasaran, apa yang membuat banyak pihak merekomendasikan buku klasik terbitan asli tahun 1954 ini. Seberapa kuatkah ceritanya ?
Buku yang saya baca adalah versi terbitan ulang di tahun 2011 yang mengambil edisi revisi bikinan William Golding sendiri di tahun 1982. Awalnya saya berpikir novel klasik ini masih berbau fantasi atau dongeng atau petualangan dengan hawa-hawa Peter Pan -nya JM Barrie, ternyata tidak demikian adanya.
Saya sempat cheating, dengan membaca buku-buku lain, entah karena bosan atau karena bahasa buku klasik yang kadang bikin kening berkerut dan otak menjerit. Namun akhirnya saya berhasil menuntaskan buku dengan tebal 200 halaman ini, dengan kengerian histerikal yang membekas. Sungguh saya seperti ditipu. Perasaan sakit dan kecewa yang tak disangka, saya alami akibat buku klasik ini. Adalah wajar kiranya LORD OF THE FLIES dianggap sebagai salah satu buku yang memiliki pengaruh hingga masa kini.
Menceritakan kisah mengenai serombongan anak lelaki yang terdampar di sebuah pulau terisolir pasca kecelakaan pesawat. Hanya anak-anak lelaki saja, paling tua hanya berusia 12 atau 13 tahun, tidak ada orang dewasa pun yang tersisa. Anak-anak ini terpaksa berjuang bertahan hidup sendiri sampai entah kapan ada yang datang menyelamatkan mereka dari pulau.
Ini yang saya punya, terbitan Penguin |
Ralph, seorang anak yang ditunjuk menjadi pemimpin, memutuskan untuk menyalakan api dan membuat sinyal asap. Berharap akan ada yang datang, Ralph membagi para anak lelaki menjadi tim pemburu, yang diketuai oleh Jack, para pengumpul kayu dan buah, dan beberapa anak kecil yang hanya bisa menanti di bawah perlindungan seadanya. Pada awalnya, kepanikan anak-anak ini masih terasa sebagai semacam permainan, dimana mereka begitu bahagia memiliki pulau, bebas tanpa orang dewasa dan segala aturan-aturannya. Namun petaka dimulai, ketika teror suatu makhluk buas tak dikenal muncul. Ketakutan begitu pekat merayap di udara. Ketakutan yang membuat gila.
Bencana perebutan kekuasaan pun terjadi. Kebrutalan dan kegilaan tidak terelakkan. Insting buas mengambil alih. Hingga rentetan kengerian dan ketidakmanusiawian pun hadir. Saya sungguh terperangah. They're just children. Namun berbagai bentuk kengerian mulai muncul mengambil alih. Sungguh buku yang ngeri. Chill runs down your spine.
Sebenarnya saat awal membaca bukunya, saya begitu saja teringat akan BATTLE ROYALE karya Koushun Takami yang saya baca tahun lalu ( di sini curhatannya). Firasat jelek muncul, namun saya tepis karena berpikir tidak mungkinlah ini terjadi. Namun, seperti biasa, kenaifan saya berhasil memunculkan sensasi bergidik yang terngiang-ngiang lama. Maka wajar saja buku ini memberikan pengaruh besar pada kesusastraan masa lalu dan masa kini. Orisinalitas dan konflik psikologis yang diusung oleh Golding, perumpamaan politisnya, dan dibalik kesederhanaan ceritanya, sekali lagi saya sadar bahwa humans are the most horrible creatures that lived on earth.
Well, buku ini masuk kategori highly-recommended bagi para pembaca dewasa yang menyukai klasik ataupun tidak menyukai klasik tapi mencintai thriller. LORD OF THE FLIES adalah jenis buku yang tidak membuat sedih, tapi meninggalkan jebakan kehampaan yang cukup ampuh untuk membuat kita bertanya-tanya sejauh mana batas antara kemanusiaan dan insting hewani dalam situasi krusial.
“Fancy thinking the Beast was something you could hunt and kill! You
knew, didn’t you? I’m part of you? Close, close, close! I’m the reason
why it’s no go? Why things are what they are? What are we? Humans? Or animals? Or savages?”
- William Golding -
No comments:
Post a Comment